Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hongaria, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia
pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang
seperti Perancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah
baru, dan negara-negara baru tercipta setelah runtuhnya
Austria-Hongaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Meski muncul gerakan pasifis setelah perang,[10][11] kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis
pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme
punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan
keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri,
sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar
biaya perbaikan perang, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan
bersenjata negaranya.[12] Pada saat yang sama, Perang Saudara Rusia berakhir dengan terbentuknya Uni Soviet.[13]
Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan sebuah pemerintahaan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji
Britania dan Perancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang
tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925,
gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini
berkuasa di Italia dnegan agenda nasionalis, totalitarian, dan
kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan
sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar
negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".[14]
Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.[15]
Parati Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan
melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan
Cina pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis.[16] Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Cina[17] sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo.[18]
Terlalu lemah melawan Jepang, Cina meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan voluntir Cina melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.[19]
Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Ia menghapus demokrasi, menciptakan revisi orde baru radikal dan rasis, dan segera memulai kampanye persenjataan kembali.[20] Sementara itu, Perancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar
dengan sah bersatu kembali dengan Jerman dan Hitler menolak Perjanjian
Versailles, mempercepat program persenjataan kembalinya dan
memperkenalkan wajib militer.[21]
Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Perancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Perancis. Sebelum diberlakukan, pakta Perancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna.[22][23] Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen
dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya.
Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di
Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus.[24]
Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah
satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia
langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.[25]
Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[26] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru,[27] berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di cina, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.[28]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar