Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)[sunting | sunting sumber]
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[7] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.[7]Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.[8] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.[8]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[8] Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi.[8] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[8] Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[8] Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[8]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I di tahun 1974.[8] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[8] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia di tahun 1970-an.[8] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[9]
Swasembada beras[sunting | sunting sumber]
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik.[10] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.[10] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[10]Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[10] Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[10] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[10] Prestasi ini merupakan sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[10]
Pemerataan kesejahteraan penduduk[sunting | sunting sumber]
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[10] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.[11] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% di tahun 1970-an ke angka 15% di tahun 1990-an.[11] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun di tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun di tahun 1993.[10]Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun di tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[10] Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[10] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).[10] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar