Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu
Indonesia, dan berhasil meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan
internasional bahwa peristiwa Gerakan 30 September
adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa pembunuhan jenderal faksi
sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut terhadap para
pahlawan Indonesia.[19] Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30 September disebut "Gestapu"
(dari "Gerakan September Tigapuluh"). Tentara, bertindak atas perintah
Soeharto dan diawasi oleh Nasution, memulai kampanye agitasi dan hasutan
untuk melakukan kekerasan berdarah di kalangan warga sipil Indonesia
yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi
Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI
tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.[20]
Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat
menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.[21]
Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata
memberi sinyal pada para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang
Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar
habis saat petugas pemadam kebakaran hanya berdiri diam.[22]
Mereka kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis
Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto
juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan
masyarakat Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen
partai komunis dan organisasi massa
berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap,
beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua
stasiun radio yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis
Indonesia adalah partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai
PKI sendiri dan semua "onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti
organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual dan
kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI.
Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan
terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau
seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai
dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia
melaksanakan hukuman di luar hukum, termasuk penangkapan massal dan eksekusi kilat,
terhadap siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis,
dan loyalis Soekarno. Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut,
Soekarno mengeluarkan perintah untuk mencoba menghentikannya, tapi ia
diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI untuk peristiwa
"kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI
Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga
tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan
untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih
luas.[22]
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian
masyarakat yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilante Muslim) mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupun onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.[15] Pembunuhan dimulai di ibukota, Jakarta, menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra utara.[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.[24]
Perkiraan jumlah korban tewas dari berbagai kekerasan ini berkisar dari
lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan sejarawan menerima
figur sekitar 500.000.[25]
Banyak orang lain juga dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan,
orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai tersangka.
Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar
dugaan pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut.[26]
Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar
pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif
dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar