Rabu, 18 Februari 2015

Konsekuensi Manuver Politik

Undang-undang anti-tjina

Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di Indonesia berawal di era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya undang-undang anti-China menyusul usahanya menghapuskan total faham komunisme (karena negara China menganut faham komunisme). Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-Indonesia kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom kelima (simpatisan rahasia) komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China yang kala itu ramah diputus, dan Kedutaan Besar China di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-sentimen serupa.

Sebuah sistem politik baru

Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. PKI juga merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir. Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto dalam 32 tahun selanjutnya.[31]
Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan untuk memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi, dan mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia. Militer diberi peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan sosial di seluruh Indonesia mengalami birokratisasi dan korporatisasi, dan metode represi yang selektif namun efektif dan kadang-kadang brutal digunakan terhadap penentang rezim Orde Baru.[31]
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer sebagai bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.

Kebangkitan Islamisme

Penghilangan partai-partai Nasionalis dan Komunis, dua jenis partai yang sekuler, memiliki efek samping yang memberikan ruang lebih luas untuk pengembangan doktrin Islamisme di Indonesia. Hal ini termasuk doktrin Islam yang liberal, konservatif, dan kelompok-kelompok ekstremis yang menganut Islam di Indonesia. Para pengamat sejarah dan politik Indonesia meyakini bahwa pasukan Soeharto membesar-besarkan sentimen anti-komunis dengan memanfaatkan permusuhan golongan Islam konservatif terhadap komunisme yang "tak bertuhan" untuk menghasut jihad melawan para pendukung sayap kiri (komunisme).

Peningkatan hubungan dengan Barat

Perubahan rezim ini membawa perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang memungkinkan USAID dan lembaga bantuan lainnya untuk beroperasi di dalam Indonesia. Soeharto membuka ekonomi Indonesia dengan melepas perusahaan milik negara, dan negara-negara Barat didorong untuk berinvestasi dan mengambil kendali dari banyak kepentingan pertambangan dan konstruksi di Indonesia. Hasilnya adalah stabilisasi ekonomi dan pengentasan kemiskinan absolut dan kondisi kelaparan yang telah dihasilkan dari kekurangan pasokan beras dan keengganan Soekarno mengambil bantuan negara-negara Barat.
Sebagai hasil dari eliminasi komunis, Soeharto kemudian dipandang sebagai seorang yang pro-Barat dan anti-komunis. Sebuah hubungan militer dan diplomatik yang akan berlangsung lama antara Indonesia dan negara-negara Barat telah dibangun, yang kemudian mengarah ke pembelian senjata dari Amerika Serikat, Inggris Raya, Australia dan pelatihan personil militer Indonesia oleh negara-negara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar