Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[53]
Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan
disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk
"ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase
yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk
mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut,
masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini
tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[53] Stupa
memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan
tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[54]
Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh,
tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu
panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung
dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[55]
Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada
1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat
dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[55][56]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[54] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 metres (13 ft).[53]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin
mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 metres (23 ft) dari ujung
dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 metres (6.6 ft), menyisakan
lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras
melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang
disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah;
dengan pucuk mencapai ketinggian 35 metres (115 ft) dari permukaan
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang
kini dilepas adalah 42 metres (138 ft) . Tangga terletak pada bagian
tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian
puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32
arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus
tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi
dengan dataran di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar