Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.[1]
Prasasti Abhayagiri Wihara
yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di
situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama
Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara
("wihara di bukit yang bebas dari bahaya"). Rakai Panangkaran
mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan
memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan
mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M.[1]
Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut
disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha,
sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun ditemukan pula
unsur–unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga,
Ganesha dan Yoni.
Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi
benteng pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing
Pu Kumbayoni. Menurut prasasti Siwagrha
tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan yang terdiri atas tumpukan
beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas bukit ini dijadikan
kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari.
Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar