Pada 24 April 1966, Soeharto berpidato kepada anggota Partai Nasional Indonesia di mana ia berbicara tentang "tiga penyimpangan" yang harus dikoreksi oleh para pemuda negara bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata. Hal ini adalah:
- Radikalisme ekstrim kiri PKI dan upaya untuk memaksakan perjuangan kelas pada rakyat Indonesia;
- Oportunisme politik yang dimotivasi oleh keuntungan pribadi, dipimpin dan dieksploitasi oleh "dalang" dari Badan Pusat Intelijen Indonesia (BPI), yang pada saat itu dipimpin oleh Subandrio, sekutu Soekarno;
- Avonturisme ekonomi, menghasilkan penciptaan sengaja sebuah kekacauan ekonomi.[29]
Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan lembaga-lembaga negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana, Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di depan gedung legislatif pada tanggal 2 Mei, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan pro-komunis diskors dari DPR-GR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang Pro-Soeharto kemudian diangkat.[11][22]
Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka 12 Mei, tapi akhirnya dimulai pada tanggal 20 Juni dan berlanjut sampai dengan 5 Juli. Salah satu tindakan pertamanya adalah menunjuk Jenderal Nasution sebagai ketua. Sidang ini kemudian mulai membongkar aparatur negara yang telah dibangun Soekarno di sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan beberapa keputusan, salah satunya adalah ratifikasi Supersemar, sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi Marxisme, menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil Soekarno untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di Indonesia dan menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup". Sidang ini juga mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan bahwa jika presiden (Soekarno) tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan menjabat sebagai presiden.[22][27]
Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 20 Juni, dipimpin oleh presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan termasuk Adam Malik dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini kembali mencakup pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.
Pada tanggal 11 Agustus, sebuah perjanjian damai ditandatangani, secara resmi mengakhiri "Konfrontasi" Indonesia-Malaysia. Indonesia mengumumkan akan bergabung kembali dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perjanjian ini termasuk pembebasan tahanan politik Soekarno dan pembayaran kompensasi kepada pemerintah Inggris dan Amerika Serikat atas kerusakan yang terjadi pada bangunan diplomatik mereka selama demonstrasi di era Soekarno.
Pada tanggal 17 Agustus, dalam pidato hari kemerdekaan tahunan, Soekarno menyatakan bahwa Indonesia tidak mau mengakui Malaysia atau bergabung kembali dengan PBB. Ia juga menyatakan bahwa ia tidak memindahkan kekuasaan kepada Soeharto. Ini memicu reaksi marah dalam bentuk demonstrasi, dan Indonesia memang akhirnya bergabung kembali dengan PBB pada bulan September, berpartisipasi dalam Majelis Umum pada tanggal 28 September.[27] Sementara itu, kritik dari para demonstran menjadi semakin gencar dan pribadi, ada yang menuntut Soekarno untuk diadili.
Pada 10 Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan dokumen yang dikenal sebagai "Nawaksara", memberikan versinya tentang peristiwa seputar Gerakan 30 September. Di dalamnya, ia mengatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI tersebut adalah sebuah "kejutan tak terduga" kepadanya, dan bahwa ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah moral dan ekonomi bangsa. Hal ini menyebabkan demonstran menyerukan Soekarno untuk digantung.[22]
Pimpinan MPRS kemudan bertemu pada tanggal 21 Januari dan menyimpulkan bahwa Soekarno telah gagal untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Dalam resolusi yang disahkan pada 9 Februari, DPR-GR menolak Nawaksara dan meminta MPRS untuk mengadakan sidang khusus.[27]
Pada tanggal 12 Maret 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan sengit, sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya. Pada tanggal 12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai tahanan rumah secara de facto di kediamannya di Bogor. Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968 sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.[27]
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada tanggal 16 Desember 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi Tertinggi, dan memegang sebagian dari hirarki militer yang umumnya dipegang oleh orang sipil. The New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka membentuk sebuah junta untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.[30] (New York Times, 16 Desember 1965.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar