Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat
pengaruh militer jatuh untuk personil tentara yang lebih bersedia untuk
menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.[16]
Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi
dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan
rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution, anggota dari kubu TNI sayap kanan.
Pada tanggal 2 Oktober,
Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali
tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas
untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1 November dibentuklah Kopkamtib ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.[15] Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times
melaporkan bahwa sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak
disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI.
Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya, membuat media tersebut
berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk membunuh para
jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada
kekuasaan.[17]
Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan unit KOSTRAD-nya
adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis, Soeharto
menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut G30S.
Kemudian, atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari
jabatan yang diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf
TNI Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.[18]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar